Seni Berbohong
Buya Hamka, ulama penulis tafsir Al Azhar, seseorang yg dipenjarakan 2 tahun lebih karena berbeda pendapat dengan rezim berkuasa, pernah memberikan nasehat ke anaknya—karena anaknya ketahuan berbohong.
Maka Buya Hamka bilang, ada tiga syarat kalau seseorang ingin jadi pembohong:
1. Memiliki mental baja, tidak ragu2 untuk berbohong
2. Tidak pelupa
3. Siap dengan kebohongan2 berikutnya.
Saya membaca hal ini di buku “Ayah”, yang ditulis Irfan Hamka, anak Buya Hamka, mengenang beliau. Dan meski ceritanya hal ini hanya dua halaman saja, saya memikirkan lama hal tersebut. Itu sungguh menjelaskan tabiat sejati seorang pembohong. Buya telah menghamparkan dengan jelas nomenklatur seorang pembohong.
Maka lihatlah di sekitar kita. Tontonan soal kebohongan ini ada di mana2. Maka tidak keliru lagi, jika seseorang memilih jalan dusta dihidupnya, maka mereka akan memiliki tiga karakter tersebut. Mental baja, kulit badak, wajah tembok, mutlak sekali adanya.
Bukan Cuma kuali, tembok sudah wajahnya. Yang kedua, selalu ingat kebohongan2nya, repot sekali kalau sampai lupa. Pembohong adalah orang pengingat. Yang ketiga, siap siaga dengan kebohongan2 berikutnya—terlebih jika sampai ketahuan.
Maka, persis seperti nasehat Buya kepada anaknya tersebut, saya akan menutup tulisan ini dengan kalimat yang sama,
“Kalau kau tidak berbakat untuk berbohong, jangan kau coba-coba berbohong. Dan ingat, bohong itu salah satu dosa yang harus kau pertanggungjawabkan kepada Allah”.
Demikianlah.
Buya Hamka, ulama penulis tafsir Al Azhar, seseorang yg dipenjarakan 2 tahun lebih karena berbeda pendapat dengan rezim berkuasa, pernah memberikan nasehat ke anaknya—karena anaknya ketahuan berbohong.
Maka Buya Hamka bilang, ada tiga syarat kalau seseorang ingin jadi pembohong:
1. Memiliki mental baja, tidak ragu2 untuk berbohong
2. Tidak pelupa
3. Siap dengan kebohongan2 berikutnya.
Saya membaca hal ini di buku “Ayah”, yang ditulis Irfan Hamka, anak Buya Hamka, mengenang beliau. Dan meski ceritanya hal ini hanya dua halaman saja, saya memikirkan lama hal tersebut. Itu sungguh menjelaskan tabiat sejati seorang pembohong. Buya telah menghamparkan dengan jelas nomenklatur seorang pembohong.
Maka lihatlah di sekitar kita. Tontonan soal kebohongan ini ada di mana2. Maka tidak keliru lagi, jika seseorang memilih jalan dusta dihidupnya, maka mereka akan memiliki tiga karakter tersebut. Mental baja, kulit badak, wajah tembok, mutlak sekali adanya.
Bukan Cuma kuali, tembok sudah wajahnya. Yang kedua, selalu ingat kebohongan2nya, repot sekali kalau sampai lupa. Pembohong adalah orang pengingat. Yang ketiga, siap siaga dengan kebohongan2 berikutnya—terlebih jika sampai ketahuan.
Maka, persis seperti nasehat Buya kepada anaknya tersebut, saya akan menutup tulisan ini dengan kalimat yang sama,
“Kalau kau tidak berbakat untuk berbohong, jangan kau coba-coba berbohong. Dan ingat, bohong itu salah satu dosa yang harus kau pertanggungjawabkan kepada Allah”.
Demikianlah.