*Proses Belajar yang Menakjubkan
Oleh: Shinta Tiara
Seorang guru sedang menggelar majlisnya di sebuah ruangan sederhana.
Guru: “Kalian tahu, ada sebuah nasehat dari orang tua. Sebuah nasehat yang baik.”
Murid antusias bertanya: “Apa itu, guru?”
Guru menjawab sambil tersenyum: “Yaitu, seseorang bisa masuk surga karena keburukan2nya. Sebaliknya, seseorang bisa masuk neraka karena kebaikan2nya.”
Murid bingung: “Bagaimana mungkin guru? Itu seperti tidak masuk akal?”
Guru mengangguk: “Mungkin saja. Ketika seseorang melakukan keburukan2, lantas dia merasa amat bersalah . Tidak berhenti menyesal, takut pada hukuman Allah. Tidak henti bertobat, gentar sekali dengan siksa Allah. Maka itu boleh jadi membuatnya masuk surga. Sementara, ketika seseorang melakukan kebaikan2 hanya untuk menyombongkan diri, menunjukkan diri, pamer, bertumpuk kesombongan dalam hati, maka meski bergunung kebaikan yang dia perbuat, boleh jadi itu hanya membuatnya masuk neraka.”
Semua murid terdiam, menelan ludah, memikirkan kalimat2 itu. Tetapi apesnya, ada seorang murid (yaitu saya), yang terlalu pintar, tiba-tiba nyeletuk: “Wah guru, kalau begitu mending bikin maksiat aja ya. Nanti tinggal bertobat. Beres. Daripada bikin kebaikan, repot mikir riya atau tidaknya.”
Ruangan sederhana itu lengang.
Guru menatap saya lamat-lamat: “Kau tahu, Nak, hanya orang2 munafiklah yang sibuk mempertentangkan sesuatu; memperdebatkan hal yang sudah jelas; mengarang pertanyaan atas hal yang tidak perlu dipertanyakan atau dikomentari lagi, dan mencari2 alasan atas nasehat yang sudah terang-benderang. Menyenangkan memang melakukannya. Bersilat lidah. Bicara seolah pintar sekali tapi kosong. Tapi lama-lama kau akan kehilangan pintu hati yang lapang menerima nasehat. Cam-kan itu baik-baik.”
Saya sungguh terdiam menatap tikar.
Oleh: Shinta Tiara
Seorang guru sedang menggelar majlisnya di sebuah ruangan sederhana.
Guru: “Kalian tahu, ada sebuah nasehat dari orang tua. Sebuah nasehat yang baik.”
Murid antusias bertanya: “Apa itu, guru?”
Guru menjawab sambil tersenyum: “Yaitu, seseorang bisa masuk surga karena keburukan2nya. Sebaliknya, seseorang bisa masuk neraka karena kebaikan2nya.”
Murid bingung: “Bagaimana mungkin guru? Itu seperti tidak masuk akal?”
Guru mengangguk: “Mungkin saja. Ketika seseorang melakukan keburukan2, lantas dia merasa amat bersalah . Tidak berhenti menyesal, takut pada hukuman Allah. Tidak henti bertobat, gentar sekali dengan siksa Allah. Maka itu boleh jadi membuatnya masuk surga. Sementara, ketika seseorang melakukan kebaikan2 hanya untuk menyombongkan diri, menunjukkan diri, pamer, bertumpuk kesombongan dalam hati, maka meski bergunung kebaikan yang dia perbuat, boleh jadi itu hanya membuatnya masuk neraka.”
Semua murid terdiam, menelan ludah, memikirkan kalimat2 itu. Tetapi apesnya, ada seorang murid (yaitu saya), yang terlalu pintar, tiba-tiba nyeletuk: “Wah guru, kalau begitu mending bikin maksiat aja ya. Nanti tinggal bertobat. Beres. Daripada bikin kebaikan, repot mikir riya atau tidaknya.”
Ruangan sederhana itu lengang.
Guru menatap saya lamat-lamat: “Kau tahu, Nak, hanya orang2 munafiklah yang sibuk mempertentangkan sesuatu; memperdebatkan hal yang sudah jelas; mengarang pertanyaan atas hal yang tidak perlu dipertanyakan atau dikomentari lagi, dan mencari2 alasan atas nasehat yang sudah terang-benderang. Menyenangkan memang melakukannya. Bersilat lidah. Bicara seolah pintar sekali tapi kosong. Tapi lama-lama kau akan kehilangan pintu hati yang lapang menerima nasehat. Cam-kan itu baik-baik.”
Saya sungguh terdiam menatap tikar.