Kehormatan & Mencuri
Oleh: Shinta Tiara
Kita sebut saja Mang Edi. Pekerjaannya adalah pemulung. Saban hari berangkat dari rumahnya pagi2--agar tidak keduluan sama pemulung lain, lantas pergi ke tempat pembuangan akhir sampah yg baunya amat menyengat itu. Kalau tidak terbiasa, satu jam lama-lama di sana, dijamin pusing kepala. Mang Edi sudah belasan tahun, hidungnya sudah kebal. Lihatlah, dengan 'seragam' resminya, baju butut, celana butut, sepatu boot bekas, pengait panjang, keranjang di punggung, mulailah dia bekerja mencari apa saja yang bisa dijual ke tengkulak sampah. Plastik, favoritnya. Kertas karton, koran, juga boleh. Besi-besi tentu oke. Ah, sudut mata Mang Edi ini macam elang, bisa menangkap buruannya walau terselip di antara tumpukan sampah lain, gesit menariknya keluar. Melemparnya ke dalam keranjang dalam satu gerakan.
Berapa penghasilannya? Kecil sekali dibanding kita yang bekerja di kementerian keuangan, atau bank Indonesia misalnya. Tidak ada apa-apanya juga dibanding kita yg bekerja di perusahaan swasta nasional maupun multinasional. Mana kerjanya berpanas-panas, keringat mengucur deras, hamparan sampah sejauh mata memandang. Tapi dengarlah jawaban simpel Mang Edi saat ditanya-tanya, "Namanya juga cuma lulus SD, Pak. Yang penting ini pekerjaan halal. Saya tidak mencuri. Anak istri saya bisa makan, alhamdulillah." Bukan main.
Kita sebut saja Abang Edu--lagi-lagi alias saja. Lulusan salah-satu universitas top di Eropa, jurusan perbakan. Apa pekerjaannya? Jualan baju di salah-satu pusat grosir. Tokonya kecil, spesialis menjual baju anak2. Dia berangkat pagi-pagi dari rumahnya, membuka toko, menata jualan. Baru pulang saat toko-toko di pusat grosir itu tutup. Kalau lagi long weekend, itu berarti bisa malam sekali--karena pembeli sekarang suka belanja midnight. Lihatlah, Abang Edu terampil menata baju anak2, tekun sekali. Kalau lagi sepi, dia duduk di depan laptop, mengurus toko online. Semuanya baru saja dimulai, jadi tokonya belum bisa menjanjikan apapun. Apakah Abang Edu tidak naksir jadi eksekutif perusahaan raksasa? Tidak layak jadi senior manajer di salah-satu perbankan? Dia lulusan terbaik, mudah saja kalau dia mau, tapi dengarkan penjelasan abang kita ini, "Saya lebih tenang begini. Tidak mencuri waktu kerja, tidak mengambil hak orang lain. Biar tenteram saja, Mas." Bukan main.
Semakin ke sini, saya semakin sering menemukan orang-orang dengan prinsip mengagumkan. Orang-orang yang bisa menunjukkan harga sebuah kehormatan adalah harga seluruh kehidupannya. Menunjukkan betapa sebuah kehormatan akan digigit keras-keras meskipun rontok gigi terakhir. Saya kadang terharu mendengarnya. Betapa disiplin mereka menjaga kehormatan diri sendiri. Tidak mencuri hak orang lain walau sesenti, tidak mengambil timbangan orang lain walau semili. Jangan tanya ke orang-orang ini soal korupsi waktu, menggunakan fasilitas alat kerja, tidak ada dalam kamusnya.
Maka, sungguh ini kabar baik. Masih banyak orang2 seperti ini di sekitar kita. Dan akan lebih banyak lagi kalau kita semua yang mendengar ceritanya, ikut tergerak untuk ikut menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga kita. Tidak nge-les, tidak mencari-cari alasan. Berdiri tegak perkasa di atas pemahaman baik. (Shinta Tiara)
Oleh: Shinta Tiara
Kita sebut saja Mang Edi. Pekerjaannya adalah pemulung. Saban hari berangkat dari rumahnya pagi2--agar tidak keduluan sama pemulung lain, lantas pergi ke tempat pembuangan akhir sampah yg baunya amat menyengat itu. Kalau tidak terbiasa, satu jam lama-lama di sana, dijamin pusing kepala. Mang Edi sudah belasan tahun, hidungnya sudah kebal. Lihatlah, dengan 'seragam' resminya, baju butut, celana butut, sepatu boot bekas, pengait panjang, keranjang di punggung, mulailah dia bekerja mencari apa saja yang bisa dijual ke tengkulak sampah. Plastik, favoritnya. Kertas karton, koran, juga boleh. Besi-besi tentu oke. Ah, sudut mata Mang Edi ini macam elang, bisa menangkap buruannya walau terselip di antara tumpukan sampah lain, gesit menariknya keluar. Melemparnya ke dalam keranjang dalam satu gerakan.
Berapa penghasilannya? Kecil sekali dibanding kita yang bekerja di kementerian keuangan, atau bank Indonesia misalnya. Tidak ada apa-apanya juga dibanding kita yg bekerja di perusahaan swasta nasional maupun multinasional. Mana kerjanya berpanas-panas, keringat mengucur deras, hamparan sampah sejauh mata memandang. Tapi dengarlah jawaban simpel Mang Edi saat ditanya-tanya, "Namanya juga cuma lulus SD, Pak. Yang penting ini pekerjaan halal. Saya tidak mencuri. Anak istri saya bisa makan, alhamdulillah." Bukan main.
Kita sebut saja Abang Edu--lagi-lagi alias saja. Lulusan salah-satu universitas top di Eropa, jurusan perbakan. Apa pekerjaannya? Jualan baju di salah-satu pusat grosir. Tokonya kecil, spesialis menjual baju anak2. Dia berangkat pagi-pagi dari rumahnya, membuka toko, menata jualan. Baru pulang saat toko-toko di pusat grosir itu tutup. Kalau lagi long weekend, itu berarti bisa malam sekali--karena pembeli sekarang suka belanja midnight. Lihatlah, Abang Edu terampil menata baju anak2, tekun sekali. Kalau lagi sepi, dia duduk di depan laptop, mengurus toko online. Semuanya baru saja dimulai, jadi tokonya belum bisa menjanjikan apapun. Apakah Abang Edu tidak naksir jadi eksekutif perusahaan raksasa? Tidak layak jadi senior manajer di salah-satu perbankan? Dia lulusan terbaik, mudah saja kalau dia mau, tapi dengarkan penjelasan abang kita ini, "Saya lebih tenang begini. Tidak mencuri waktu kerja, tidak mengambil hak orang lain. Biar tenteram saja, Mas." Bukan main.
Semakin ke sini, saya semakin sering menemukan orang-orang dengan prinsip mengagumkan. Orang-orang yang bisa menunjukkan harga sebuah kehormatan adalah harga seluruh kehidupannya. Menunjukkan betapa sebuah kehormatan akan digigit keras-keras meskipun rontok gigi terakhir. Saya kadang terharu mendengarnya. Betapa disiplin mereka menjaga kehormatan diri sendiri. Tidak mencuri hak orang lain walau sesenti, tidak mengambil timbangan orang lain walau semili. Jangan tanya ke orang-orang ini soal korupsi waktu, menggunakan fasilitas alat kerja, tidak ada dalam kamusnya.
Maka, sungguh ini kabar baik. Masih banyak orang2 seperti ini di sekitar kita. Dan akan lebih banyak lagi kalau kita semua yang mendengar ceritanya, ikut tergerak untuk ikut menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga kita. Tidak nge-les, tidak mencari-cari alasan. Berdiri tegak perkasa di atas pemahaman baik. (Shinta Tiara)